Husnudzon Kepada Allah




Assalamu’alaikum


Wa’alaikumsalam..” jawab pria paruh baya berjanggut panjang dari dalam rumah, ia masih mengenakan jubah dan peci bulat berwarna putih, nampaknya ia baru pulang dari masjid ketika aku datang untuk bertamu.


“Ada perlu apa? Silakan masuk..” ia mempersilakanku masuk walaupun kita belum saling berkenalan, aku jadi ingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)


Setelah masuk dan dipersilakan duduk, aku langsung memperkenalkan diri sesingkat dan sejelas mungkin. Ia memperhatikanku lalu tersenyum. Jika dilihat dari ekspresinya, sepertinya ia mengetahui apa tujuanku datang bertamu.


“Dengar nak, aku tak tahu janji apa yang telah kau buat dengan anakku, sebelum kau datang kemari sudah terhitung tiga pemuda yang datang kemari dengan maksud dan tujuannya sama persis denganmu sekarang, dan dari ketiga pemuda itu tidak ada yang membuatku percaya pada mereka, sekarang kau memberanikan diri untuk menemuiku, sedangkan jika dilihat-lihat mungkin usiamu tidak lebih tua dari usia putriku, ia masih kuliah, kurasa kau pun begitu, sekarang jelaskan kepadaku berapa penghasilanmu per bulan?” perkataan lugas dari pria yang berada di hadapanku ini membuat hatiku bergetar. Aku segera menata diri untuk menjawab pertanyaannya.


“Maaf pak, saya tidak pernah membuat janji apa pun dengan anak bapak, bertemu dan mengobrol pun cuma sekali, itu pun saat kami berkenalan, setelah itu kami tidak pernah berkomunikasi sampai sekarang, saat tak sengaja berpapasan saja sudah membuat hati ini berdesir, saya tidak berani pak, apalagi membuat sebuah janji yang belum tentu bisa saya tepati.”

“Soal penghasilan, jujur, saya belum memiliki penghasilan tetap, benar prediksi bapak, saya masih berkuliah dan sedang menyusun laporan akhir, saya memang tidak bisa berjanji untuk membahagiakan anak bapak, tapi insyaaAllah saya bisa membimbingnya dengan sedikit ilmu yang saya punya.”


Mendengar jawaban tersebut, ia diam sejenak dan langsung memanggil istrinya untuk minta dibuatkan dua cangkir teh.


“Sengaja tidak aku beri kau hidangan apa-apa di awal karena biasanya yang datang kesini tidak sampai 15 menit lalu pamit untuk pulang. Sifatmu yang berani membuatku penasaran denganmu, bagaimana bisa kau datang kemari padahal kau masih belum memiliki penghasilan tetap?”

“Kau mungkin mencintai anakku, tapi rasa cintaku padanya lebih besar dari rasa cintamu padanya, aku ayahnya, aku tak rela jika melepas putriku kepada seorang pria yang belum bisa menjamin nafkah lahiriyah calon istrinya”


Mendengar penjelasan tersebut, membuat aku menundukkan kepala, aku mengerti bagaimana perasaannya walaupun aku belum pernah memiliki seorang anak, tapi mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi si Ayah. Aku jadi teringat kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menolak lamaran dua sahabatnya untuk putrinya, Fatimah. Sebagai seorang ayah, tentu beliau menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Ketika Allah SWT merestui hubungan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, maka lamaran Ali itu pun ia terima, walaupun dengan mahar sebuah baju zirah yang digadaikan.


“Menikah itu bentuk ibadah, insyaaAllah, Allah akan bukakan pintu rezekinya, bagaimana bisa aku takut tak mampu menafkahi istriku sedangkan aku adalah hamba dari yang maha kaya, yang aku lakukan hanyalah tetap berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla

Tak lama kemudian datang wanita paruh baya dengan membawa sebuah nampan dan dua cangkir teh hangat di atasnya. Ia menghidangkan minuman tersebut ke atas meja lalu langsung pergi meninggalkan kami berdua tanpa berkata-kata.


Astaghfirullah..

Aku mendengar pria di hadapanku berulang kali mengucap Istighfar, aku tidak mengerti ia beristighfar karena jawabanku yang singkat itu atau karena teh hangat yang dihidangkan oleh istrinya.


“Aku telah membaca ratusan buku tafsir, keliling kampung untuk mengajar anak-anak mengaji dan menjadi imam dan khatib saat shalat jumat di masjid, aku berwasiat kepada para jamaahku untuk selalu berhusnudzon kepada Allah SWT, tapi aku sendiri tidak mengamalkannya. Terima kasih sudah mengingatkanku nak, mungkin pertemuan kita sore hari ini menjadi teguran untukku, untuk selalu berbaik sangka kepada Allah SWT, tidak salah aku membuatkanmu secangkir teh, ayo silakan diminum tamuku.”


Aku pun menyeruput teh hangat yang sudah dihidangkan, teh itu bagaikan oase di tengah gurun sahara, aku merasa suasana menjadi semakin cair dalam tiap teguk yang kuminum.

Perbincangan sore itu lebih mengarah kepada pembahasan sifat Husnudzon kepada Allah, aku memberi beliau referensi tafsiran surah Al-Imron ayat ke 159 yang menyinggung tentang sifat berburuk sangka kepada Allah. Dalam ayat itu menganjurkan kita untuk selalu melakukan musyawarah pada setiap pengambilan keputusan yang melibatkan sebuah kepentingan kelompok, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan untuk tidak mengajak 3 orang dalam bermusyawarah, yaitu orang yang kikir, orang yang egois, dan orang yang penakut. Karena ketiga orang itu senantiasa berburuk sangka kepada Allah.


“Jadi, orang penakut itu digolongkan ke dalam orang yang selalu berburuk sangka kepada Allah, itu mengapa aku beranikan diri untuk datang kemari..”


Beliau tertawa, suasana pun semakin cair dan tak terasa hari semakin sore, seteguk demi seteguk aku minum teh yang sudah mulai dingin itu, semua bahasan menjadi bahan obrolan sore itu, mulai dari beliau yang menanyakan hafalan quranku, amalan apa saja yang kujaga mati-matian, sampai bagaimana aku bisa sampai ke rumahnya sedangkan beliau tak melihatku membawa kendaraan pribadi.

Menjelang Maghrib, beliau mengajakku untuk meninggalkan rumah untuk pergi bersama-sama sholat berjamaah di masjid, sebelum aku beranjak dari sofa ruang tamu, aku menanyakan kejelasan jawaban tentang tujuan awal kedatanganku bertamu.


“Sejak awal kau datang kemari dan mengucapkan salam, aku meragukanmu, tapi setelah kita berbincang mulai dari ba’da Ashar hingga menjelang Maghrib, itu sedikit mengubah cara pandangku terhadap dirimu, aku sampai belum sempat ganti baju dari sholat Ashar berjamaah tadi, sekarang kita ke masjid untuk Maghrib berjamaah”


“Jadi?”


“Selesaikan dulu studimu, lalu datanglah kembali kapan pun kau mau”


Aku meneguk habis teh yang tersisa satu tegukan itu. Tegukan terakhir teh itu tak pernah senikmat ini.




Bastian Saputro
Palembang, 17 Maret 2018


0 komentar