Uzumaki Naruto adalah bocah yang selalu dianggap remeh sama semua orang di desa Konoha, dia dikucilkan, dipalakin, dan sendalnya selalu diumpetin tiap abis sholat di masjid. Karena masa kecil yang selalu di-bully akhirnya dia bertekad untuk menjadi Hokage, sang pemimpin desa suatu hari nanti, dan berharap dengan menjadi Hokage dia akan bahagia.
Tahun demi tahun berlalu, akhirnya Naruto berhasil menjadi Hokage tanpa jalur orang dalem, dia latihan tiap hari biar bisa jadi orang yang paling kuat di desa Konoha, dia mulai uninstall aplikasi Tiktok, dan dia selalu nolak tawaran calo yang jual Netflix dan Spotify seharga 15 rebu di kolom komentar Instagram artis. Itu semua dia lakukan biar bisa menjadi Hokage di desa Konoha.
Tapi setelah dia jadi Hokage (yang itu adalah cita-citanya dari kecil), dia malah gak bahagia. Hari-harinya disibuki dengan rapat Dewan Perwakilan Ninja di Konoha, tanda tangan ribuan berkas tiap hari, sampe sesekali harus jadi saksi pernikahan Konohamaru. Sebuah kebahagiaan yang dia gantungkan dibalik gelar seorang Hokage ternyata semu, dia malah harus dibebani dengan tanggung jawab yang berhubungan sama desa Konoha. Gak jarang dia harus lembur dan mengorbankan waktunya bersama keluarga di rumah, ini semua demi cita-cita yang (katanya) bisa bikin dia bahagia.
Bagi sebagian orang yang melihat dari jauh, Naruto udah berhasil menggapai cita-citanya dan jadi orang paling bahagia di desa Konoha. Tapi Naruto sendiri merasa kalo dia gak bahagia. Ya, Naruto sudah mendaki tangga yang salah.
***
Tanpa sadar, kita adalah Naruto dengan versi kita masing-masing. Belajar siang dan malem biar bisa dapet nilai yang bagus, kerja sampe lembur biar dapet duit yang banyak, rela ngelakuin apa aja sampe ngorbanin sesuatu yang udah ada di sekitar kita cuma buat jadi Hokage versi kita masing-masing.
Menganggap kalo punya jabatan tinggi yang bisa dipamerin ke semua orang bakal bikin kita jadi orang yang paling bahagia, paling diberkati, paling sukses. Padahal di balik jabatan yang tinggi itu ada target yang mesti dikejar, reputasi yang kudu dijaga mati-matian, dan ribuan jam tidur yang terbuang karena banyak pikiran.
Tangga kesuksesan yang kita panjat ternyata ga membawa kita menjadi orang sukses yang bahagia, kesuksesan kita malah jadi toxic success yang penuh fatamorgana. Sama kayak kita yang berada di atas puncak gunung bersalju. Orang yang berada di bawah bakal terkagum-kagum sama kita dan menganggap kalo kita udah jadi orang sukses yang bahagia, tapi buat kita yang udah berada di puncak, kita malah hipotermia dan tersiksa karena makin berada di puncak, intensitas oksigen makin menipis.
Kalo kata Sherina, kita harus melihat segala sesuatu lebih dekat, apa yang membuat kita bahagia, kenapa gue harus jadi Hokage, kalo gue jadi Hokage dan menjual semua waktu gue bersama keluarga apakah itu worth it? Apakah ini yang bener-bener gue mau? Kira-kira gue bakal nyesel ga ya? Semua pertanyaan-pertanyaan itu cuma diri kita sendiri yang bisa ngejawab. Karena yang paling paham sama diri kita adalah diri sendiri.
Fokus sama cita-cita memang bagus, tapi terlalu fokus sama tujuan membuat kita lupa menikmati indahnya pemandangan selama di perjalanan.
Tengok kiri dan kanan, hargai sesuatu itu selagi masih ada.
Karena kita selalu telat merasakan sesuatu itu berharga ketika sudah pergi.
0 komentar
Please leave a comment ..