“Mam, kenapa harus ada kelas table manner? Buat apa kita belajar tata cara makan? Makan kan tinggal kunyah & telen aja.” Tanya gue ke salah seorang dosen Public Relations di sebuah cafe.
Selain Movie Class yang belajarnya di bioskop sambil nonton film, sebagai anak Komunikasi juga ada yang namanya Table Banner Class, semacem kelas untuk belajar tata cara makan ala bangsawan Perancis di sebuah Hotel. Sebagai kaum protelar yang biasa makan di warteg sambil angkat satu kaki, table manner menjadi hal yang merepotkan bagi gue, ditambah gue bukan anak Public Relations.
Walopun bukan anak Public Relations, tapi gue cukup terkenal di kalangan dosen di kampus, muka gue pernah nampang di header website kampus selama berbulan-bulan, dan sempet jadi objek sesembahan untuk para adik tingkat di kampus, hahaha. Karena asas keterkenalan itu lah, gue bisa leluasa masuk kelas Public Relations pas lagi ga ada mata kuliah tanpa kena usir.
Menjelang semester akhir, gue terlibat project dengan beberapa dosen di kampus, sampe sering meet up bareng di cafe. Saat meet up ini lah gue suka nanya beberapa hal yang ga gue pahami soal dunia branding dan public relations, karena gue lebih banyak belajar tentang dunia advertising dan broadcasting selama di kampus.
“Makan itu kebutuhan pokok kita sehari-hari, hal yang sering kita jumpai, sesuatu yang kita anggap remeh, yang kita anggap kecil. Table manner itu seni mengatur sesuatu yang kita makan di atas meja, megang garpu, pisau, sampe cangkir pun ada caranya. Kalo kita ga bisa mengatur dan menghargai sesuatu yang sepele dan kecil dalam hidup kita, gimana kita bisa mengatur dan menghargai sesuatu yang lebih besar?” Jawab dosen gue.
Ini lah alasan gue lebih demen nanya sama dosen ketimbang nyari jawaban sendiri di google, jawaban yang sangat subjektif berdasarkan pengalaman pribadi dan ilmu yang dia dapet selama menjalani hidup sebagai dosen komunikasi. Bukan jawaban text book yang objektif tentang proses komunikasi di atas meja makan bla bla bla.
Jawaban itu gue inget sampe sekarang.
***
Banyak orang di dunia ini yang menganggap dirinya sebagai tokoh utama dalam cerita kehidupan, kalo merasa disakiti, langsung merasa kalo dia lagi di-dzolimi kayak si bawang putih, tapi kalo dia menyakiti orang lain dan orang lain itu protes, dia malah nganggep orang lain itu lebay, berlebihan, atau suka mendramatisir. Pokoknya orang lain itu salah, yang bener cuma dirinya sendiri.
Generalisasi konteks pun mungkin udah menyatu dengan DNA orang kayak gini, kalo menurut dia sesuatu itu ga penting maka universe harus nganggep itu juga ga penting, kalo menurut dia biasa aja maka alam semesta harus nganggep hal itu juga biasa aja, kalo enggak, ya siap-siap aja dia bakal berdalih kalo orang lain yang ga bisa menerima generalisasi yang dia ciptakan sebagai orang yang baperan.
Berbekal filosofi table manner yang gue ceritain di atas, gue belajar buat mulai melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
Cerita dikit, DM Instagram gue selalu penuh sama pertanyaan-pertanyaan dari ilustrator pemula yang selalu nanya tentang teknik menggambar, market dunia ilustrasi, sampe sekedar nanya udah makan apa belom. Karena pertanyaan-pertanyaan mereka cenderung sama, dan gue capek buat balesin satu-satu, gue suka bikin sesi Q&A yang tujuannya buat jawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka, jadi gue ga harus jawab pertanyaan yang sama berulang-ulang.
Ada satu momen dimana ada orang yang nanya soal ilustrasi, dan pertanyaan dia gue jawab ke insta stories sambil men-tag akun instagram dia, lalu apa yang terjadi? Dia ngucapin banyak terima kasih karena gue udah mau jawab pertanyaan dia, yang bagi gue ucapan terima kasih dari dia itu cukup berlebihan, tapi dia ngelakuin itu karena dia seneng banget pertanyaannya bisa gue jawab. Hal yang gue anggep sepele bagi gue, ternyata berarti lebih buat dia.
Sejak saat itu, gue ga pernah nganggurin DM orang lain gitu aja. Setiap DM yang masuk, gue usahain buat bales, gue ga pernah ngebiarin pertanyaan orang menggantung di gue, bahkan kalo topik obrolan kita udah selesai dan dia ngucapin ucapan terima kasih sebagai penutup obrolan pun gue tetep buka DM nya biar ada status “seen” sebagai bentuk gue menghargai ucapan terima kasih yang udah dia ketik dan kirim ke gue.
Mungkin menurut kita sepele, tapi kita ga pernah tau, dibalik sebuah pesan yang dikirim itu ga cuma kumpulan huruf dan kuota, tapi mungkin juga ada harapan di dalamnya.
Ga cuma kita yang hidup di dunia ini, ada milyaran bahkan trilyunan orang yang ada di bumi, mereka punya masalahnya masing-masing, punya bahagianya masing-masing, prioritas masing-masing, sampe pola pikir yang beda-beda. Kita cukup melihat segala sesuatu lewat perspektif berbeda dan menghargai sesuatu dari mulai hal yang paling kecil.
Kalo menurut kita sepele dan ga penting, bukan berarti menurut orang lain juga demikian, kita perlu menghargai sesuatu yang kecil biar kita bisa dikasih tanggung jawab buat memiliki dan menjaga sesuatu yang lebih besar. Sama kayak table manner yang mengatur dan menghargai makanan yang ada di atas meja kita.
Mungkin untuk memulai, kita ga perlu dateng ke restoran perancis buat belajar table manner, cukup dari ngucapin ucapan terima kasih dan membuka pesan dari orang lain, membiarkan mereka ngeliat centang biru atau status “seen” dari kita.
0 komentar
Please leave a comment ..