Belakangan ini gue lagi seneng-senengnya nyari nama sendiri di Google, gue ketik "Diobhas" lalu enter, dan yang muncul semua jejak digital gue selama aktif di dunia sosmed dan internet.
Ada rekaman Soundcloud gue pas SMA yang lagi ngecover lagu "Inikah Cinta" dengan suara kayak kambing kejepit, komen-komenan alay gue waktu jaman masih aktif blogwalking, sampe karya-karya buku gue yang udah nyampe ke market internasional, ceilah. Ternyata gue juga nemu Wikipedia page tentang profil gue, berasa jadi publik figur dikit, hahaha.
Different topic, memasuki penghujung September 2021 isi timeline sosmed lagi rame tentang serial film yang hits banget di Netflix, judulnya: Squid Game. Pertama kali denger, gue kira itu film tentang karakter gurita jutek yang ada di film Spongebob, ternyata bukan. Gue pribadi belum nonton serialnya karena belum punya waktu aja sih, hahaha.
Tapi hype-nya udah kemana-mana, hampir semua temen ilustrator rame-rame bikin fanart-nya, gue juga gatau mereka bikin fanart serial Squid Game karena emang demen sama filmnya atau cuman ikutan riding in the wave aja, hal ini yang membawa kita ke topic bahasan postingan kali ini. Ya, riding the wave!
Buat kalian yang berprofesi sebagai konten kreator, istilah riding the wave mungkin ga asing lagi di telinga kalian, dimana para konten kreator atau cuman orang yang pengen dapet atensi publik bakal ikut-iktuan nge-hype sebuah trending topic biar kontennya relate sama trend yang sedang berlangsung dan memungkinkan dia buat dapet viewers, likes, dan followers dari topic yang lagi trend itu.
Wave disini bukan berarti ombak beneran, itu cuman istilah dari trending topic yang sedang berlangsung, jadi para konten kreator biasanya suka ikutan bikin konten yang berhubungan sama topic yang lagi trend untuk tujuan tertentu, contohnya, kemaren Indonesia dapet medali emas di olimpiade Tokyo untuk cabor bulu tangkis ganda putri, masyarakat senang, pejabat senang, konten kreator pun mencari peluang.
Di sisi industri dunia ilustrasi dan desain, semua ilustrator berbondong-bondong bikin ilustrasi foto Greysia Polii dan Apriyani Rahayu lengkap dengan ucapan selamat dan ga lupa men-tag akun instagram si atlet yang bersangkutan. Para pejabat juga gamau kalah, mereka ngucapin selamat ke para atlet sambil majang foto mereka yang sebenernya lebih gede foto pejabatnya ketimbang foto atletnya. Mereka turut bersuka cita sekalius menunggani ombak (trending topic) yang ada.
"Tapi kan wajar mereka hype kayak gitu, soalnya kan Indonesia dapet emas, kebanggaan buat mereka sebagai masyarakat Indonesia."
Iya paham, tapi di belahan universe yang sama, Indonesia juga dapet medali emas di Paralimpiade Tokyo 2021 lewat Leani/Khalimatus dan Leani/hary, dan emas di Paralimpiade ini adalah emas pertama setelah 41 tahun Indonesia ga pernah dapet medali emas, tapi kenapa para konten kreator ga ngangkat isu ini, sampe Headline di koran nasional pun cuman kebagian 1/4 halaman? (Dibanding pasangan Greysia/Apriani yang dapet 1 full halaman bewarna), jawabannya, karena ombaknya kurang gede aja.
Contoh lain, di bulan April 2021, Indonesia berduka atas tenggelamnya KRI-Nanggala 402 di perairan utara Bali, setelah kapal selam dapet status On Eternal Patrol, semua pihak berbela sungkawa, para konten kreator berbondong-bondong bikin ilustrasi tentang kapal selam KRI-Nanggala 402 sebagai wujud respect & duka cita mereka, tapi di balik itu, konten-konten yang berbau kapal selam views dan likesnya meningkat drastis, konten kreator yang ngangkat topik ini pun dapet followers dan atensi yang banyak. Mungkin agak jahat kalo kita nganggep mereka semua memanfaatkan peluang popularitas dari sebuah musibah, tapi itulah realita.
Riding the wave atau bahasa gaulnya “Pansos” adalah sebuah booster untuk para konten kreator untuk dapetin popularitas instant yang kayaknya ga bakal dijelasin di seminar gratis atau konten-konten youtube yang suka ngasih judul clickbait “cara dapetin followers 10k dalam seminggu.”
Sebenernya ga salah juga sih kalo ada konten kreator yang demen manfaatin trend yang ada buat kontennya di sosmed, semua balik ke preferensi masing-masing, asal tetap menyebarkan energi positif ke audience dan ga kampungan dalam deliver the content.
Ga lupa juga buat selalu pake hati dan rasa empati kalo mau riding the wave ke trend-trend sensitif yang mengangkat isu perpecahan, rasisme, atau musibah. Jangan sampe kita diperbudak sama yang namanya jumlah viewers, likes, dan followers dan mengabaikan rasa empati kita.
Kadang, kita ga perlu menunjukkan kalo kita sedang berduka di sosial media, cukup tundukkan kepala lalu mengheningkan cipta.
0 komentar
Please leave a comment ..